“Kamu tak akan meremehkan luka seseorang jika kamu tahu
seperti apa rasanya bertahan, meski kadang kamu pintar menyembunyikannya.”
Dan yang aku pahami dalam kehidupan ini adalah: setiap orang pasti
pernah merasakan luka, setiap orang pasti pernah berusaha bertahan dan bahkan
sampai sekarang pun masih bertahan. Jadi? Masih pantaskah kita untuk meremehkan
luka orang lain? Mungkin di matamu itu adalah luka kecil ala kadarnya, tapi
bisa saja ternyata itu adalah sebuah hantaman badai bertubi bagi orang yang
mengalaminya. Kita tidak pernah tahu bukan sesuatu yang ada di dalam hati orang
lain? Jadi, masihkan kita berhak untuk menghakimi? Tentu tidak, jika hatimu
masih berfungsi sebagai mana mestinya.
“Kadang ketika lelah terus terluka, kamu memilih tuk menjauh
dari segalanya. Hanya karena kamu ingin melihat siapa yang akan menghampirimu.”
Setiap orang pasti pernah mengalami penatnya kehidupan,
daripada menjadi orang yang hanya bisa menghakimi dan mencibir bukankah akan
jauh lebih baik jika kita menjadi suatu bagian dari kelangkaan? Dari sekian
banyak orang yang menghakimi sepihak, bukan jauh lebih baik ketika kita menjadi
minoritas yang menghampiri ‘sang terluka’ dan membawa kehangatan serta pengertian.
Bukankah sebenarnya kita juga sedang mengharapkan kedatangan seorang minoritas
itu? Daripada jenuh menunggu, mengapa bukan kita saja yang menjadi seorang minoritas
itu dan berbagi hati.
“The best and most beautiful things in the world can’t be
seen, heard, or even touched. They must be felt with the heart.” –Helen Keler-
Sebuah kalimat yang begitu indah bukan? Tapi tahukah kalian
bahwa seorang yang mengucapkan kalimat ini adalah seorang yang buta dan tuli. Mengagumkan
bukan? Mengapa bisa seorang dengan kekurangan yang dimilikinya menciptakan
kalimat yang begitu menyentuh? Karena dia melihat dunia dengan hatinya, bukan
dengan keserakahan indera yang manusia miliki.
Buat hatimu selembut sutra yang mendatangkan senyuman bagi
orang lain, bukan batu kerikil yang menyakiti orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar